Saturday, November 26, 2022

Cerpen

 

ADA APA DI KANADA?

TAHUN 2020 DI NEW YORK

Aku adalah putri tunggal dari Liam Hermington dan Annastaha Hermington. Keluarga kami dapat digolongkan berkecukupan. Ayah dan ibuku merupakan dosen di universitas bergengsi di New York. Aku tinggal bersama nenek juga. Namun, kami tidak begitu dekat. Nenek cenderung pendiam. Terkadang, di rumah hanya terasa seperti tinggal bertiga, bersama ayah dan ibuku saja

Namaku adalah Louisa Hermington. Tahun ini umurku 18 tahun. Meski sudah remaja, aku tergolong anak yang manja pada kedua orangtuaku. Bukan tanpa sebab, tapi aku selalu merasa kesepian. Aku tidak begitu pandai berbaur. Aku hanya memiliki 1 orang teman di tempat kuliahku. Orangtuaku sangat sibuk dengan pekerjaannya. Kesempatanku untuk menghabiskan waktu bersama mereka hanya pada liburan musim panas.

Dan, sebentar lagi musim  panas tiba, aku sangat bersemangat. Sampai akhirnya…

MALAM HARI

Pada makan keluarga kali ini terasa berbeda. Makan malam yang seharusnya terasa hangat, berubah menjadi mengharukan.

My beautiful beautiful Louisa, ayah minta maaf, ayah dan ibu tidak bisa menemani kamu liburan musim panas kali ini.”

“Iya Loui, kami ada kepentingan di Kanada selama musim panas ini. Tapi kami janji akan membawakanmu banyak kado nanti ketika kami kembali ke New York.”

Aku tentu sangat kecewa dan tidak kuasa membendung air mata ku lagi. Aku sudah merangkai begitu banyak kegiatan yang akan kulakukan bersama ayah dan ibu untuk musim panas kali ini. Sekarang, aku harus tinggal berdua dengan nenek selama musim panas ini. Sangat membosankan.

KEESOKAN PAGINYA

“Kami akan berangkat sekarang. Jaga dirimu baik-baik ya. Loui. Jangan nakal nanti nenek kesusahan menjaga kamu,” pesan ayah sebelum berangkat.

“Kami janji akan berusaha pulang secepatnya supaya bisa menghabiskan musim panas dengan anak kami yang manis ini,” ibu sedang berusaha membujukku yang sedang bimoli.

Karena kesal, aku tidak menghiraukan kedua orangtuaku dan masuk ke kamarku. Brakkkk, aku membanting pintu kamarku, mengisyaratkan kekesalan dan ketidakrelaanku karena kepergian kedua orang tuaku.

Tidak lama setelahnya, ibu mengetuk pintu kamarku dan berkata lembut, “Hey, Loui, ibu paham sekali kamu pasti merasa kecewa dengan keputusan ayah dan ibu.”

“Sejujurnya, kami juga tidak ingin pergi, kami juga ingin menghabiskan waktu bersamamu. Maafkan ayah dan ibu ya. Sebagai gantinya, kami akan membelikanmu sepasang mainan Barbie yang kamu inginkan.”

Aku tidak menjawab sepatah katapun, sampai akhirnya ibu menyerah dan berpamitan denganku dari luar pintu kamar yang ku kunci.

BEBERAPA HARI KEMUDIAN

Orangtuaku sudah sampai di Kanada. Aku masih mengabaikan pesan dari kedua orangtuaku selama berhari-hari. Aku masih kesal dengan mereka dan aku pikir ini merupakan cara yang tepat agar mereka tahu betapa kesal yang kurasakan.

Namun, kekesalan yang kurasakan tidak bertahan lebih lama dari itu. Kekesalan yang kurasakan tiba-tiba berubah menjadi kesedihan dan penyesalan terdalam.

Nenek masuk ke kamarku dengan air mata yang mebasahi seluruh mukanya dan dengan telefon yang masih menempel di telinganya. Nenek memberikan telefon tersebut kepadaku dan mengisyaratkanku untuk menjawab telefonnya. Nenek tersungkur di lantai setelah memberikan telefonnya kepada ku.

“H-Halo..?” aku mengangkat telefon dengan gemetar, karena aku tahu sesuatu yang buruk pasti terjadi. Bagaimana tidak? Dengan reaksi nenek yang seperti itu, pastilah dugaanku benar.

“Halo, selamat siang, bisa bicara dengan kerabat dari Liam Wingston atau Annastaha Hermington?”

“Siang, iya, saya anaknya.”

“Kami dari Rumah Sakit Royal Jubilee, Kanada, ingin mengkonfirmasi asal dari korban kecelakaan mobil siang hari ini, Liam Wingston atau Annastaha Hermington. Kami butuh persetujuan dari wali untuk kesediaannya melakukan operasi sekaligus pembayarannya.”

Aku terdiam beberapa detik, termenung. Perasaan apa ini? Takut, sedih, sesak, perasaan bersalah, semua perasaan negatif sedang kurasakan.

Akupun menanyakan seberapa parah kondisi kedua orangtuaku dan apa mereka akan tertolong. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat memberi kepastian karena kondisi yang orangtuaku alami cukup parah. Aku dan nenek memutuskan untuk pergi ke Kanada saat itu juga.

SESAMPAINYA KAMI DI KANADA

Sesaat mendarat di Kanada aku dan nenek segera naik taksi menuju Rumah Sakit Royal Jubilee. Perasaan yang kurasa masi sama dengan yang kurasakan tadi di New York. Apa kira-kira yang nenek rasakan sekarang? Apakah sama sedihnya denganku, ataukah lebih parah? Entahlah, satu hal yang dapat kukatakan pasti, nenek tidak berhenti menangis sejak memberikan telefon padaku tadi. Rasanya aku ingin memeluknya.

Sejak orangtuaku pergi ke Kanada, nenek hampir tidak pernah mengobrol denganku. Aku tidak tahu alasan yang sebenernya mengapa kami menjadi seperti ini. Bahkan disaat genting seperti ini pun, terasa ada tembok besar yang memisahkan aku dan nenek, sehingga kami tidak dapat menguatkan satu sama lain.

Kami tiba di Royal Jubilee. Perawat di sana mengatakan orangtuaku sedang dalam proses operasi sekarang. Operasinya diperkirakan akan berakhir 8 jam lagi. Mengapa sangat lama? Aku memutuskan untuk duduk di depan ruang operasi, menunggu sampai proses operasi selesai. Sedangkan nenek, ia sedang menelfon semua kerabat kami sambal menangis. Aku membiarkannya, mungkin nenek akan merasa lebih baik dengan melakukan itu.

Sekarang sudah pukul 11 malam, operasi masih berjalan. Tangisan nenek sudah mereda, ia terlihat sangat sayu. Aku dan nenek belum makan apapun sejak tadi siang. Namun, aku tidak memiliki nafsu untuk makan. Aku memutuskan untuk keluar membelikan grandma makanan, sementara aku mencari udara segar.

Hmmmhh, enaknya menghirup udara Kanada yang bersih. Cukup membantu meredakan penat kepalaku.

Brukk, ah. Tiba-tiba seorang pemuda yang terlihat setengah sadar dan berbau miras menabrak tubuhku dengan keras. Sakit. Ia jatuh tersungkur, kehilangan keseimbangan sepertinya, entahlah.

Laki-laki yang tadinya melihat ke tanah itu, tiba-tiba mendongakkan kepalanya ke arahku. Kami bertatapan. Tampan, itulah yang terlintas di benak ku. Aku termenung sebentar, hingga laki-laki tersebut tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Apa yang lucu? Apakah wajahku sekusut itu? Mengapa ia menertawakan orang yang tidak dikenal? Tidak sopan.

Aku mengulurkan tangan kananku untuk membantunya berdiri. Lalu, aku memapahnya sambil mencarikan ia kursi untuk duduk. Sepanjang jalan ia mengoceh tidak karuan. Aku mendudukkannya di kursi halte bus.

“Terimakasih. Kamu orang baik. Rupamu juga cantik. Namun kamu, tidak secantik Rachel-ku.”

“Tcih, dasar tidak sopan. Apakah ia baru saja di tolak oleh seorang perempuan? Lalu ia menggila dan meminum miras hingga semabuk itu?” gumamku.

Aku berjalan menjauhinya dan kembali ke rumah sakit.

DI RUMAH SAKIT

“Grandma, aku membawakanmu sup asparagus. Makanlah selagi hangat.”

“Aku tidak ingin makan,”

Aku meninggalkan sup asparagusnya tepat di samping tempat duduk nenek. Entah sampai kapan nenek akan seperti itu. Sejujurnya, aku takut nenek jatuh sakit, aku takut sendirian.

Tidak lama kemudian, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. Pukul berapa sekarang? Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku dan nenek berlari kearah dokter tersebut.

“Bagaimana kondisi kedua orangtua saya, dokter?”

“Maaf, dengan siapa saya berbicara?”

“Saya anak dari pasien, dok. Ini nenek saya.”

“Baik, perkenalkan saya Dr. Andrew yang mengoprasi kedua orangtua anda. Proses operasi sudah selesai, pasien sudah di bawa ke kamar pasien. Pasien sama-sama mengalami cedera di bagian perut. Kondisi pasien laki-laki saat ini sudah mulai stabil. Dapat dikatakan operasi berhasil 90%.”

“Bagaimana keadaan pasien perempuan, dok?”

“Untuk saat ini pasien perempuan sudah mulai stabil. Ada cedera pada dadanya, kondisinya lumayan parah. Tulang rusuknya patah dan mengenai liver. Seperti yang tadi saya katakan, ada cedera pada perut. Sudah kami tangani sebisa kami. Namun bekas luka pada liver yang belum di operasi sempurna beresiko untuk kedepannya. Untuk saat ini kami tidak bisa berbuat lebih lagi, karena sangat beresiko.”

“Apakah ada jalan keluar lain, dok?” ucap nenek gemetar, menahan tangisnya.

“Sebenarnya, kami memiliki dokter ahli bedah unggulan di rumah sakit kami. Tingkat keberhasilan operasinya 98%.”

“Siapa dokter itu? Bisakah ia mengoprasi ibuku?”

“Saya tidak yakin.”

“Mengapa? Apakah ia sudah tidak memiliki izin prakteknya lagi?”

“Bukan begitu. Hanya saja, sesuatu terjadi. Ia berubah semenjak itu, menjadi orang yang sangat berbeda. Terakhir kali ia melakukan operasi, sekitar 4 bulan lalu. Ada pasien cedera, akibat KDRT. Selebihnya, ia menolak semua tawaran untuk mengoperasi siapapun”

Aku dapat memastikan nenek sangat cemas. Raut wajahnya menunjukkan ketakukan. Tangannya gemetar. Aku tak kuasa melihat nenek yang seperti itu. Aku akan berusaha semampuku untuk menyembuhkan ibu.

“Dokter, saya ingin membujuk dokter tersebut. Bisakah kau memberikan nama dan alamatnya, kumohon?”

Dokter muda itu sepertinya merasa kasihan kepada aku dan nenek. Ia memberikan kepadaku kartu nama dokter tersebut.

Christian Delevingne. Nama yang indah.

“Tidak akan mudah untuk membujuk Christian. Jika kamu tetap ingin melakukan operasi penyembuhan total. Paling lambat berikan hasil 30 hari lagi. Selebihnya, resiko menjalani operasi akan menjadi lebih besar.”

“Baik, dok. Akan saya usahakan. Terimakasih.”

Orangtuaku telah dipindahkan ke kamar VIP untuk pemulihan. Dokter melarangku untuk masuk ke ruangan mereka sementara, karena beberapa hal. Aku hanya bisa memandang mereka dari kaca ruangan mereka. Aku sangat cemas, semalaman aku merangkai kata untuk menemui dokter yang bernama Christian tersebut.

Aku sudah mengirimkannya email, namun belum mendapat balasan apapun. Nenek dijemput oleh salah seorang kerabat kami yang tinggal di Kanada untuk tinggal di rumahnya sementara waktu. Baguslah, setidaknya nenek bisa beristirahat. Aku sangat cemas nenek akan jatuh sakit.

KEESOKAN PAGINYA

Ini pukul 6 pagi, aku berangkat dari rumah sakit menuju Kawasan tempat tinggal Dr. Christian di kota Quebec. Janji yang kuajukan memang belum disetujui olehnya. Namun, apa boleh buat? Aku sangat buntu sekarang, hingga menjadi senekat ini.

45 menit berlalu

Aku sampai di depan rumah Dr. Christian. Perlahan aku melangkah memasuki rumahnya yang megah nan besar itu. Aku sangat terpukau karena rumah itu berdiri menjulang tinggi, kokoh, dan indah. Terkesan seperti istana.

Aku melihat ada seorang wanita yang sedang membersihkan pekarangan di rumah mewah itu, yang kuasumsikan adalah seorang asisten rumah tangga. Aku memutuskan untuk mendekatinya dan bertanya keberadaan Dr. Christian. Perempuan itu tersenyum dengan hangat padaku. Ia bertanya apa aku sudah membuat janji dengan Dr. Christian. Aku bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan darinya. Aku memutuskan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan apa tujuanku datang ke tempat ini. Setelah mendengar seisi ceritaku, wanita yang bisa kuperkirakan kepala 5 itu memintaku untuk menunggu sejenak. Lalu ia masuk ke dalam rumah megah tersebut.

Huft, aku sudah tidak bisa berharap banyak sekarang. Bodohnya mengapa aku tidak menunggu balasan email darinya terlebih dahulu?Bagaimana jika aku diusir nantinya?

Pikiranku sangatlah kacau,  aku memikirkan begitu banyak kondisi buruk yang bisa terjadi saat ini. Tapi, tak lama kemudian pintu rumah itupun terbuka. Wanita tadi mempersilahkanku untuk masuk dan menunggu di ruangannya. Perasaanku? Entahlah, aku senang dipersilahkan masuk, namun aku juga merasa sedikit takut. Ruangan ini terasa aneh, creepy.

Nuansa ruangan ini serba hitam kecoklatan. Kayu jati menghiasi ruangan ini memberi kesan kokoh, angkuh, dan kuat. Sentuhan benda-benda vintage membuatku merasa seperti pergi ke masa lalu. Ruangan ini tidak terasa seperti ruangan seorang dokter bagiku. Lebih terkesan seperti ruangan seorang psikopat kaya raya, yang hartanya berasal dari penjualan organ manusia. WAIT WHAT-

Krekkkk, pintu kayu jati itu terbuka perlahan dan menghasilkan denyitan yang tidak kalah creepy. Seseorang berjalan ke arahku. Pikiranku semakin kemana-mana.

Siapa dia? Apakah Dr. Christian? Bagaimana jika aku salah alamat? Apa aku benar-benar nyasar ke rumah seorang psikopat? Apakah mereka menipuku? Apa Dr. Andrew menipuku? Tidak, tidak, aku tidak berani melihat ke belakang.

Deg deg deg, aku dapat mendengar bunyi jantungku yang hampir copot ini. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundak sebelah kananku. Aku memejamkan mataku, sungguh menakutkan.

“Hey,” suara laki-laki. Apakah itu Dr. Christian?

Aku membuka mataku perlahan. Mataku membelalak, tak menyangka siapa yang ada di depanku saat ini. Wajahnya masih kuingat hingga sekarang. Jika kalian masih ingat laki-laki dengan bau miras yang kutemui beberapa waktu lalu. Iya, tidak salah lagi, Dr. Christian memiliki wajah yang persis dengan laki-laki yang kutemui malam itu. Aku penasaran apakah ia masih mengingatku? Tidak, ini bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan hal tersebut.

“Aku dengar dari ibuku, ada seorang wanita datang untuk menemuiku tanpa membuat janji. Ada perlu apa? Siapakah anda?”

I-IBU??!! Kyaaa, Aku sangat tidak sopan, mengira wanita tadi adalah seorang asisten!! Ada apa denganku hari ini…

“Selamat pagi Dr. Christian maaf menganggu pagi anda, saya-”

“Menganggu? Hmh, jangan lupa tambahkan kata sangat di depannya. SANGAT MENGGANGGU,” ucap Dr. Christian dengan penuh penekanan pada dua kata terakhir yang ia ucapkan.

Apa yang baru saja laki-laki kardus ini katakan?! Sangat tidak sopan! Sejujurnya, aku sudah naik darah. Aku tidak menyangka ia akan mengatakan hal semacam itu. Namun, aku harus tetap sabar demi kesembuhan ibuku. Ingat itu Louisa!

“Saya paham betul jika anda merasa sangat terganggu. Tapi, bolehkah-”

“Tidak boleh.”

Ia baru saja memotong ucapan ku untuk yang kedua kalinya. Aku harus tetap sabar. Aku tersenyum kecil ke arahnya, mencoba melanjutkan kalimatku.

“Baik, begini, dok. Orangtua saya-”

“Halo?” Dr. Christian mengangkat telefon dari seseorang, lalu pergi begitu saja meninggalkan ruangannya dengan aku yang masih duduk terpaku tidak percaya dengan kejadian yang barusan aku alami. Berani-beraninya.

Aku memutuskan untuk keluar dari ruangannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Entahlah, yang kutahu pasti adalah aku ingin menemui orangtuaku sekarang. Aku membuka pintu rumah tersebut. Belum sempat aku menutup kembali pintu tersebut. Seseorang menahannya dari dalam. Ternyata, ia adalah ibu dari Dr. Christian.

“Bagaimana? Apakah Christian menyetujuinya?” ucapnya dengan senyum yang tetap sama hangatnya.

Sekali lagi, aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya membalasnya dengan senyuman. Seperti sudah mengetahui jawabannya, ibu dari Dr. Christian tersebut menggenggam tanganku dan tersenyum kecil.

“Siapa namamu, nak?”

“Louisa, bu.”

“Kamu tenang saja, Louisa. Serahkan semua padaku.” Ia menatapku seolah berusaha meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ia juga mengusap punggung tanganku dengan lembut.

Setetes air mata jatuh dari mataku. Sungguh baik sekali hatinya, tidak seperti anaknya, huh.

“Hiks, terimakasih, bu.”

“Sama-sama, Louisa. Saya tahu dan paham perasaan cemas yang dialami mu. Bisakah kamu menemuiku di café depan Royal Jubilee besok?”

“Tentu bisa, bu.”

KEESOKAN HARINYA DI CAFÉ

Aku datang lebih awal daripada yang seharusnya. Yang ada dipikiranku sekarang adalah kesembuhan untuk ibu. Entah bagaimana nantinya bila aku tidak berhasil membujuk Dr. Christian.

Aku termenung selama kurang lebih 30 menit. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, ah, ibu dari Dr. Christian ternyata. Ia menarik kursi dan duduk di depanku. Ia menggenggam tanganku.

Dengan lembut ia menanyakan apa aku sudah sarapan, aku berkata yang sejujurnya saja. Aku belum makan. Ia memanggil pelayan dari café itu lalu menyuruhku memesan makanan untukku dan ia memesan makanan untuknya.

Setelah selesai memesan makanan, ia berkata, “maaf atas kelakukan Christian yang tidak sopan padamu, Louisa.”

“Iya, bu. Tidak apa-apa. Saya sebelumnya juga sudah diperingati oleh Dr. Andrew bahwa ini tidak akan mudah.”

“Dahulu, Christian merupakan seorang dokter yang gigih menyembuhkan semua pasien yang datang padanya. Ia pernah berkata padaku, bahkan jika aku bisa, aku ingin menyembuhkan semua orang sakit di dunia ini. Ia merasa keahlian yang ia miliki merupakan sebuah anugrah dari Yang Maha Kuasa.”

Makanan yang kami pesan datang. Kami melanjutkan percakapan sambil makan.

“Lalu mengapa ia berubah menjadi angkuh seperti itu, bu?”

“Christian memiliki seorang adik perempuan, bernama Rachel. Christian menyayangi Rachel, lebih dari apapun di dunia ini. Suatu saat Rachel mengalami kecelakaan tunggal yang merenggut nyawanya. Itu terjadi saat Rachel sedang dalam perjalanan  menemui Christian di rumah sakit. Pada saat-saat kritisnya, Rachel menelfon Christian untuk yang terakhir kalinya. Namun, waktunya sangat tidak tepat. Christian sedang dalam ruang operasi dan ia meninggalkan telefon di ruangannya.”

Mata Wanita tersebut berkaca-kaca. Pasti sakit yang ia rasakan sama dalamnya dengan perasaan Dr. Christian.

“Christian menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Semenjak hari itu, ia berhenti melakukan operasi.”

“Dr. Andrew pernah berkata padaku. Pasien terakhir yang Dr. Christian rawat merupakan seorang korban KDRT. Apakah itu benar?”

“Benar. Di atas semua yang telah terjadi. Christian masih memiliki hati nurani. Ketika Christian kecil, tak jarang ia melihat saya mendapat perlakuan kasar dari ayahnya. Ayah Dr. Christian merupakan seorang pemabuk, ia hanya pulang untuk meminta uang padaku demi membeli miras. Jika tidak diberikan, ia akan memperlakukan saya dengan kasar.”

Entah harus berkata apa, ternyata hidup Dr. Christian sangat berat. Ia pasti memiliki trauma yang sangat dalam pada dirinya. Sepertinya keangkuhan yang ia tunjukkan pada semua orang merupakan cara untuk menutupi semua keterpurukan dalam dirinya.

Aku melihat kearah ibu Dr Christian. Hendak memastikan kondisinya saat ini.

Mata dan hidungnya merah. Aku menggemgam punggung tangannya, persis seperti yang ia lakukan padaku kemarin.

Wanita tesebut berkata, “Saya telah meminta Christian untuk menjemput saya di café ini.”

“Baik, saya akan antar ibu sampai mobil.”

“Tidak, kamu ikut denganku.”

Aku sangat terkejut. Entah apa bagaimana cara menolaknya. Aku sejujurnya sangat cemas jika harus bertemu Dr. Christian sekarang, aku belum menyiapkan kata-kata yang tepat. Tetapi sekali lagi, ibu dari Dr. Christian meyakinkanku. Itu membuatku sedikit lebih tenang. 

Tidak lama kemudian, Dr. Christian sampai. Ia turun dari mobil untuk membukakan pintu bagi ibunya. Sementara, ia menatapku dengan sinis.

“Ada urusan apa kau dengan ibuku? Jangan coba-coba membujukku melaluinya.”

“Tidak apa, Christian. Aku yang mengajaknya bertemu. Mari masuk, Louisa.”

Aku menjulurkan lidahku pada Dr. Christian, lalu masuk ke dalam mobil.

Ibu Dr. Christian mengajakku makan malam bersama di rumah mereka. Meski aku tidak enak karena Dr. Christian sedari tadi menunjukkan ketidaksukaannya padaku, aku tetap menyetujuinya. Disamping aku ingin berjuang demi ibuku, aku juga tidak enak bila menolak tawaran ibu Dr. Christian. Ia sudah begitu baik padaku.

SESAMPAINYA KAMI DI RUMAH DR. CHRISTIAN

Aku membantu ibu Dr. Christian menyiapkan makanannya. Aku juga membantunya memasak. Aku bisa bilang, aku lumayan jago memasak. Karena selama di rumah, aku hanya memakan masakan yang dibuat nenek. Terkadang jika aku bosan dengan masakan nenek yang monoton, aku memasak makanan untukku sendiri.

Tidak lama, Dr. Christian datang. Ia mencicipi semua masakan yang kubuat, dan berkomentar pedas atas semuanya makanannya. Kurang asin, terlalu pedas, tidak dipotong dengan benar, bau amis, dan masih banyak komentar lainnya. Rasanya seperti ikut Master Chef. Bahkan menurutku, perkataannya lebih menusuk daripada Chef Juna.

Aku tahu ia hanya mencoba mengejekku, karena menurutku dan ibunya sendiripun, rasanya pas. Bahkan aku bisa bilang rasanya enak. Hehehehehe.

Setelah semuanya selesai, kami menyusun makan-makanan yang telah kami buat di meja makan.

Aku duduk di sebelah ibu Dr. Christian. Lalu saat aku melihat ke belakang. Dr. Christian berdiri tepat di belakangku. Memasang muka sebal.

“Itu tempat dudukku.”

“Oh, maaf. Aku tidak tahu.” Aku berdiri dan pindah ke kursi lainnya.

“Memangnya apa yang kamu tahu?” gumamnya padaku.

Sangat menyebalkan.

Kami memulai sesi makan malam bersama kami, yang sangat menyebalkan ini. Namun, aku melihat sesuatu yang aneh. Dr. Christian memakan masakanku dengan sangat lahap. Ia bahkan nambah berkali-kali.

“Ada yang nambah, nih. Masakanku enak, bukan?” ucapku meledek Dr. Christian.

“Tidak, sangat asin. Aku tidak suka.  Aku hanya lapar.”

Aku dan ibu Dr. Christian tertawa kecil. Sungguh laki-laki ini, gengsinya sangat tinggi.

“Oh, iya. Berapa umurmu, Louisa?” tanya ibu Dr. Christian.

“18 tahun, bu.”

“Wah, kelahiran tahun 2002 ya. Sama dengan Rachel.”

Dr. Christian menatapku, tapi kali ini tidak ada rasa mencekam ataupun ketidaksukaan dari matanya. Anehnya, tatapannya terasa hangat.

“Asalmu darimana?” Dr. Christian untuk pertama kalinya membuka topik pembicaraan padaku.

“New York.”

“Ooo, ada kepentingan apa di Kanada?”

“Beberapa waktu lalu, orangtuaku pergi ke Kanada untuk bekerja. Namun, mereka mengalamu kecelakaan disini, itulah sebabnya, aku meminta bantuanmu untuk-”

“Cukup. Aku tidak ingin mendengarnya lagi.” Dr. Christian bangkit dari kursinya dan meninggalkan meja makan.

Apa? Apa aku salah bicara?

Ibu Dr. Christian tersenyum ke arahku. “Pelan-pelan, ia pasti akan luluh.”

Setelah makan malam selesai, aku membantu ibu Dr. Christian merapihkan semuanya. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ibu Dr. Christian memintaku untuk tinggal di rumahnya malam ini.

“Bermalamlah disini, Loui. Ini sudah larut, bahaya bila kamu pulang sendiri.”

Perkataan ibu dari Dr. Christian ada benarnya juga. Lagipula, cuaca di Kanada saat ini sedang ekstrem. Tapi, bagaimana dengan reaksi Dr. Christian bila melihat aku menginap di rumahnya? Aku enggan memikirkannya, aku terlalu lelah untuk memikirkan itu.

Akupun, akhirnya memutuskan untuk bermalam. Ibu Dr. Christian membiarkanku tinggal di kamar tamu di rumahnya dan memberikanku sepasang baju tidur anak perempuan. Bajunya sangat cantik. Berwarna merah muda dan sangat pas ketika digunakan di badanku. Setelah membersihkan badanku, akupun langsung terlelap.

POV CHRISTIAN

Perasaan apa yang kurasakan saat ini? Aku enggan menolongnya, namun hatiku berkata sebaliknya. Setiap melihat wanita yang jika tidak salah bernama Louisa itu… aku teringat pada Rachel, adikku. Ukuran tubuh, warna rambut, warna kulit, tinggi, gaya berbicara, semuanya membuatku teringat pada Rachel.

Apa seharusnya aku menolong dia? Tapi aku tidak sanggup masuk ke ruang operasi lagi.

Apa yang harus kulakukan?

POV LOUISA, KEESOKAN PAGINYA

Astaga, jam 11? Aku harus pergi ke rumah sakit sekarang. Aku ada janji dengan Dr. Andrew untuk berbincang mengenai perkembangan kondisi kedua orangtuaku. Namun baru saja aku menginjakkan kakiku ke lantai. Seseorang membuka pintu kamar. Ah, Dr. Christian ternyata. Tanpa mengetuk pintu dahulu? Sepertinya, aku mulai terbiasa dengan sikapnya yang tidak sopan itu.

“Louisa, aku ingin bicara dengamu.” Dr. Christian kali ini berbicara serius denganku, untuk pertama kalinya.

“Iya, ada apa, Pak dokter?”

“Christian, itu namaku. Bukan dokter. Dan aku masih 23 tahun. Aku bukan bapak-bapak.”

Ternyata masih tetap menyebalkan -_-

“Baik, Christian. Apa yang ingin kau bicarakan?”

Dia berjalan mendekatiku, lalu berhenti tepat di depan wajahku. Jarak kami sangat dekat. Benar-benar dekat. Aku dapat mencium aroma bajunya. Aku sangat gugup, apa yang sedang ia lakukan?

“Loui.”

“Ya?”

“Aku akan membantu mengoprasi ibumu.”

BENARKAH INI? DIA MENYETUJUI UNTUK MENGOPRASI IBUKU. Mataku berbinar-binar, aku sangat sangat sangat sangat lega. Tanpa sadar aku memeluk Christian dengan sangat erat. Entah mengapa hal itu terjadi. Mungkin, karena aku sangat senang.

“Loui? Aku sesak.” baru kusadari, aku memeluknya terlalu kencang.

“Maaf… Aku sangat senang. Terimakasih, Christian.”

“Tapi, berjanjilah padaku sesuatu.”

“Apa?”

“Tentang malam itu…”

Aku menunggu Christian menyelesaikan kalimatnya.

“Ah, kapan-kapan sajalah.”

Apa yang sebenarnya mau ia katakan? Aku sangat penasaran.

“Jangan membuat ku penasaran, cepat katakan,” ucapku memaksa.

“Uh, tentang malam itu, di halte bus,” Christian menarik tanganku dan menggenggamnya.

“Berjanjilah, bahwa kau tidak akan memberitahu ibuku mengenai hari itu.”

Mataku membelalak, tak menyangka, ternyata ini toh yang dari tadi ia coba ucapkan. HAHAHAHAHA. Aku tertawa sangat puas. Seorang Christian yang dingin dan angkuh ini ternyata sangat patuh pada ibunya.

Lalu, aku melihat ke arahnya. Wajahnya sudah sangat merah. Membuatku tertawa semakin keras.

“Sebentar, aku lupa sesuatu,” ucapku pada Christian.

“Tapi, kau belum berjanji. Berjanjilah dahulu. Memangnya kamu ada urusan apa, Loui?”

“Aku harus membantu ibumu memasak di dapur sekaligus memberi tahu padanya sebuah rahasia besar,” akupun berjalan menjauhi pintu kamarnya.

Namun, dari arah belakangku, aku bisa mendengar suara langkah kaki seseorang, yang sedang berlari ke arahku. Saat aku melihat ke belakang ternyata ada Christian yang sedang berusaha menangkapku. Apakah dia setakut itu padahal aku hanya bercanda.

Aku pun berlari menghindarinya. Aku meminta tolong pada siapapun yang ada di rumah besar itu. Aku berlari sambil sesekali menjerit. Christian tidak mau berhenti, huh, padahal aku sudah mengatakan bahwa aku hanya bercanda.

Akhirnya, pelarianku, berakhir di dapur tempat ibunya Christian berada. Betapa cerdasnya aku. Christian pun tidak berani berkutik. Hanya sesekali menatapku dengan tajam.

“Hey, ada apa ini. Mengapa kalian berdua berlarian?”

“Christian-” Christian memotong ucapanku.

“Louisa dan aku lomba lari, bu. Yang kalah, harus membantu ibu memasak di dapur hari ini.”

“Yaampun… Kalian berdua sudah seperti anak kecil. Tapi, kalian sampai disini di waktu yang sama. Bagaimana jika kalian berdua saja yang membantu ibu? Lebih banyak yang membantu, maka lebih baik.”

Aku tertawa kecil melihat wajah Christian yang menggambarkan kekecewaan. Sepertinya, membantu ibu di dapur tidak termasuk dalam list to do nya hari ini. Huh, siapa suruh memotong ucapanku.

Kamipun akhirnya memasak bersama. Kami membuat berbagai hidangan. Ada tumis kacang panjang, shrimp roll, ayam pedas manis, dan tidak lupa dengan hidangan penutup, apple pie.

Rumah besar ini hanya beranggotakan 2 orang saja, 3 bila ditambah denganku. Asisten rumah tangga yang ada di sini, semuanya memasak hidangan hanya untuk diri mereka sendiri. Ibunya Christian sangat suka memasak, jadi ialah yang selalu masak untuk dirinya dan Christian.

Ibunya Christian membumbui masakan kami, Christian memotong bawang-bawangan, dan lainnya, sedangkan aku memotong kacang panjang yang akan ditumis. Namun, aku sedikit kesulitan melihat, dikarenakan rambutku yang tergerai dan sangat mengganggu ini. Aku lupa mengikat rambutku. Namun tiba-tiba, aku bisa merasakan kehadiran Chrstian di belakangku. Ia merapikan rambutku, dan mengikatnya. Seperti sudah terlatih. Ia juga mengendus aroma rambutku. “Wangi,” ucapnya berbisik. Jantungku berdebar sangat kencang. Astaga perasaan apa ini? Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya dan melanjutkan pekerjaannku.

Beberapa jam kemudian, kegiatan masak-memasak kami pun selesai. Kami menyajikan hasil masakan kami di atas meja makan. Kami bercengkrama, sesekali kami memuji hasil masakan sendiri.

“Oh, iya. Kapan kamu mau melaksakan operasi untuk ibumu? Aku ingin menyesuaikannya dengan jadwal milikku.” Ucap Christian menanyakan kepastian.

Ibunya Christian tersenyum kea rah kami berdua, “Kan, sudah ibu bilang. Kamu hanya perlu merayunya sedikit.”

“Tapi, bu. Ia memberikanku syarat.” Ucapku meledeknya lagi.

“Apa syaratnya?” Ucap ibu Christian dengan nada penasaran.

Aku dapat melihat wajah panik Christian sekarang. Sungguh lucu.

Ouch, aku dapat merasakan sesuatu yang besar menimpah kakiku sekarang. Ternyata, itu adalah kaki Christian. Ia menginjak kakiku dan memasang wajah kesenangan. Lihat saja, akan ku balas nanti.

Kami lanjut berbincang, dan tertawa bersama. Aku juga sudah berdikusi mengenai tanggal operasi dengan Christian dan menghubungi pihak rumah sakit serta nenekku. Operasinya akan dilakukan lusa. Aku sangat senang, sekaligus gugup. Aku berdoa agar operasi ibuku berjalan lancar.

 

MALAM SEBELUM OPERASI IBUKU DILAKSANAKAN

Christian tiba-tiba masuk ke dalam kamar, sontak aku tersadar. Bahwa sedari tadi aku temenung memikirkan operasi ibuku besok.

“Kamu pasti khawatir.” Ucap Christian yang sekarang sedang duduk di sampingku.

Aku menganggukan kepalaku. Tiba-tiba, ia merangkulku dan mengusap bahuku.

“Tenang, she will be alright.” Ucapannya terasa sangat tulus.

Entah bagaimana, itu membuatku tenang. Lalu, Christian berjalan keluar dan menutup lampu kamarku.

“Sleeptight.”

Untuk kesekian kalinya, ia membuat ku berdebar. Sungguh perasaan ini, apa jangan-jangan aku menyukai lelaki tengil itu? Ah, pikiranku mengacau, aku harus tidur sekarang.

TIBALAH HARINYA

Hari ini merupakan hari yang sangat-sangat kami nantikan. Akhirnya ibuku bisa memiliki harapan untuk sembuh total. Aku dan nenek membantu ibu menyiapkan segalanya. Kondisi ayah juga sudah sangat membaik, namun belum boleh banyak bergerak.

Sebelum operasi dimulai, ayahku tidak ada henti-hentinya menggenggam tangan ibuku. Ia berkali-kali menenangkan ibuku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja karena ada kami semua yang menjaga ibu dan dokter yang mengoperasinya adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. Kami semua hanya tertawa melihat tingkah ayah yang kelihatannya lebih khawatir dibandingkan ibu yang akan menjalani operasi.

Akhirnya kegiatan operasi akan segera dimulai. Dr. Christian mengenalkan diri dan menjelaskan prosedur operasi terlebih dahulu pada keluargaku. Ia meminta kami semua agar tenang dan berdoa yang terbaik selama proses operasi berjalan.

Lalu, ibupun di bawa masuk ke dalam ruang operasi dan operasipun di mulai. Operasi dilaksanakan sekitar 5 jam. Lalu, Christian keluar dari ruangan.

“Selamat, kepada keluarga Hermington. Operasi bu Hermington berjalan lancar.”

Sontak, aku merasa sangat senang, aku, ayah, dan nenek, memeluknya dengan sangat erat dan disertai dengan lompatan-lompatan kecil saking senangnya.

Akhirnya, ibupun dapat beristirahat di ruangannya. Ibu harus dirawat inap selama kurang lebih 10 hari baru, setelahnya, ia boleh kembali ke New York. Itu yang dikatakan Dr. Christian.

Selama 10 hari itu, kami sesekali pergi bersama, menonton film, makan malam di luar dan lainnya. Aku juga mengunjungi ibunya Christian untuk berterima kasih dan membantunya memasak. Christian juga mengajak ayah dan nenekku berkeliling Kanada sesekali. 10 hari itu terasa singkat. Ternyata Christian memiliki hati yang lembut.

Karena ibu sudah dalam kondisi yang stabil, kami bersiap-siap untuk kembali ke New York. Aku telah memesan tiket pesawat untuk kami berempat. Christian dan ibunya berjanji akan mengatrkan kami ke bandara besok. Tapi, entah mengapa, aku merasa sedih. Di sisi lain aku senang ibu dan ayahku sudah sehat kembali namun, di sisi lain aku tidak siap berpisah dengan Kanada.

KEESOKAN HARINYA DI BANDARA

Aku dan keluargaku sudah di bandara. Sesuai janji, Christian dan ibunyalah yang mengantar kami. Sebentar lagi, kami harus bersiap-siap memasuki pesawat kami. Aku sangat gugup. Aku mengucapkan salam perpisahan pada Christian dan ibunya. Ibu Christian meneteskan air matanya. Uh, ini semakin memberatkanku.

Aku berjanji pada Christian dan ibunya, akan menghubungi mereka setelah aku sampai di New York, dan akan mengunjungi mereka liburan nanti.

“Panggilan kepada keluarga Hermington, kehadirannya ditunggu sekarang juga. Karena pesawat akan lepas landas sebentar lagi.”

Oh tidak, itu panggilan untuk kami. Aku dan keluargaku bergegas menuju pesawat kami. Sesaat sebelum aku masuk ke dalam pesawat. Christian menarik tanganku. Ia memelukku dengan erat dan meletakkan tangannya di pinggangku. Ia membisikkan sesuatu di telingaku, “aku menyukaimu, Louisa.”

Mataku membesar, jantungku berdegup kencang. Aku melepaskan pelukannya dariku. “Aku juga menyukaimu, Christian.” Lalu kami berpelukan kembali untuk beberapa saat.

“Aku harus pergi.” Aku melepaskan pelukan kami untuk kedua kalinya, dan berjalan menuju pesawatku.

“Aku akan mengunjungimu pekan depan, Loui. Wait for me.” Ucap Christian setengah berteriak. Memastikan aku mendengar suaranya.

“I will.” Ucapku lirih.

Semenjak hari itu, kami berpacaran. Memang tidak mudah untuk menjalankan hubungan jarak jauh. Mengingat aku yang sudah kuliah kembali, dan Christian yang kembali menjalankan tugasnya sebagai dokter bedah aktif. Namun, disamping semua kesibukan kami. Kami selalu memprioritaskan dan percaya satu sama lain.

Oh, iya. Aku juga menjadi semakin dekat dengan nenek semenjak hari itu. Ayah dan ibuku juga sudah bisa beraktifitas seperti biasa dan bisa pergi ke kampus untuk mengajar lagi.

TAMAT.

No comments:

Post a Comment

APA ITU FAST FASHION DAN MENGAPA INI SANGAT BURUK?

  Fast fashion atau busana cepat dikenal sebagai salah satu fenomena penyebab dari kerusakan planet bumi, pengeksploitasian pekerja, dan ...