ADA APA DI KANADA?
TAHUN 2020 DI NEW YORK
Aku
adalah putri tunggal dari Liam Hermington dan Annastaha Hermington. Keluarga kami dapat digolongkan
berkecukupan. Ayah dan ibuku merupakan dosen di universitas bergengsi di New
York. Aku tinggal bersama nenek juga. Namun, kami tidak begitu dekat. Nenek
cenderung pendiam. Terkadang, di rumah hanya terasa seperti tinggal bertiga,
bersama ayah dan ibuku saja
Namaku
adalah Louisa Hermington. Tahun ini umurku 18 tahun. Meski sudah remaja, aku
tergolong anak yang manja pada kedua orangtuaku. Bukan tanpa sebab, tapi aku
selalu merasa kesepian. Aku tidak begitu pandai berbaur. Aku hanya memiliki 1
orang teman di tempat kuliahku. Orangtuaku sangat sibuk dengan pekerjaannya.
Kesempatanku untuk menghabiskan waktu bersama mereka hanya pada liburan musim
panas.
Dan,
sebentar lagi musim panas tiba, aku
sangat bersemangat. Sampai akhirnya…
MALAM HARI
Pada
makan keluarga kali ini terasa berbeda. Makan malam yang seharusnya terasa
hangat, berubah menjadi mengharukan.
“My
beautiful beautiful Louisa, ayah minta maaf, ayah dan ibu tidak bisa
menemani kamu liburan musim panas kali ini.”
“Iya
Loui, kami ada kepentingan di Kanada selama musim panas ini. Tapi kami janji
akan membawakanmu banyak kado nanti ketika kami kembali ke New York.”
Aku
tentu sangat kecewa dan tidak kuasa membendung air mata ku lagi. Aku sudah
merangkai begitu banyak kegiatan yang akan kulakukan bersama ayah dan ibu untuk
musim panas kali ini. Sekarang, aku harus tinggal berdua dengan nenek selama
musim panas ini. Sangat membosankan.
KEESOKAN PAGINYA
“Kami
akan berangkat sekarang. Jaga dirimu baik-baik ya. Loui. Jangan nakal nanti
nenek kesusahan menjaga kamu,” pesan ayah sebelum berangkat.
“Kami
janji akan berusaha pulang secepatnya supaya bisa menghabiskan musim panas
dengan anak kami yang manis ini,” ibu sedang berusaha membujukku yang
sedang bimoli.
Karena
kesal, aku tidak menghiraukan kedua orangtuaku dan masuk ke kamarku. Brakkkk,
aku membanting pintu kamarku, mengisyaratkan kekesalan dan ketidakrelaanku
karena kepergian kedua orang tuaku.
Tidak
lama setelahnya, ibu mengetuk pintu kamarku dan berkata lembut, “Hey, Loui, ibu
paham sekali kamu pasti merasa kecewa dengan keputusan ayah dan ibu.”
“Sejujurnya,
kami juga tidak ingin pergi, kami juga ingin menghabiskan waktu bersamamu.
Maafkan ayah dan ibu ya. Sebagai gantinya, kami akan membelikanmu sepasang
mainan Barbie yang kamu inginkan.”
Aku
tidak menjawab sepatah katapun, sampai akhirnya ibu menyerah dan berpamitan
denganku dari luar pintu kamar yang ku kunci.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Orangtuaku
sudah sampai di Kanada. Aku masih mengabaikan pesan dari kedua orangtuaku
selama berhari-hari. Aku masih kesal dengan mereka dan aku pikir ini merupakan
cara yang tepat agar mereka tahu betapa kesal yang kurasakan.
Namun,
kekesalan yang kurasakan tidak bertahan lebih lama dari itu. Kekesalan yang
kurasakan tiba-tiba berubah menjadi kesedihan dan penyesalan terdalam.
Nenek
masuk ke kamarku dengan air mata yang mebasahi seluruh mukanya dan dengan telefon
yang masih menempel di telinganya. Nenek memberikan telefon tersebut kepadaku
dan mengisyaratkanku untuk menjawab telefonnya. Nenek tersungkur di lantai
setelah memberikan telefonnya kepada ku.
“H-Halo..?”
aku mengangkat telefon dengan gemetar, karena aku tahu sesuatu yang buruk pasti
terjadi. Bagaimana tidak? Dengan reaksi nenek yang seperti itu, pastilah
dugaanku benar.
“Halo,
selamat siang, bisa bicara dengan kerabat dari Liam Wingston atau Annastaha
Hermington?”
“Siang,
iya, saya anaknya.”
“Kami
dari Rumah Sakit Royal Jubilee, Kanada, ingin mengkonfirmasi asal dari korban
kecelakaan mobil siang hari ini, Liam Wingston atau Annastaha Hermington. Kami
butuh persetujuan dari wali untuk kesediaannya melakukan operasi sekaligus
pembayarannya.”
Aku
terdiam beberapa detik, termenung. Perasaan apa ini? Takut, sedih, sesak,
perasaan bersalah, semua perasaan negatif sedang kurasakan.
Akupun
menanyakan seberapa parah kondisi kedua orangtuaku dan apa mereka akan
tertolong. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat memberi kepastian karena
kondisi yang orangtuaku alami cukup parah. Aku dan nenek memutuskan untuk pergi
ke Kanada saat itu juga.
SESAMPAINYA KAMI DI KANADA
Sesaat
mendarat di Kanada aku dan nenek segera naik taksi menuju Rumah Sakit Royal
Jubilee. Perasaan yang kurasa masi sama dengan yang kurasakan tadi di New York.
Apa kira-kira yang nenek rasakan sekarang? Apakah sama sedihnya denganku,
ataukah lebih parah? Entahlah, satu hal yang dapat kukatakan pasti, nenek tidak
berhenti menangis sejak memberikan telefon padaku tadi. Rasanya aku ingin
memeluknya.
Sejak
orangtuaku pergi ke Kanada, nenek hampir tidak pernah mengobrol denganku. Aku
tidak tahu alasan yang sebenernya mengapa kami menjadi seperti ini. Bahkan
disaat genting seperti ini pun, terasa ada tembok besar yang memisahkan aku dan
nenek, sehingga kami tidak dapat menguatkan satu sama lain.
Kami
tiba di Royal Jubilee. Perawat di sana mengatakan orangtuaku sedang dalam
proses operasi sekarang. Operasinya diperkirakan akan berakhir 8 jam lagi. Mengapa
sangat lama? Aku memutuskan untuk duduk di depan ruang operasi, menunggu
sampai proses operasi selesai. Sedangkan nenek, ia sedang menelfon semua
kerabat kami sambal menangis. Aku membiarkannya, mungkin nenek akan merasa
lebih baik dengan melakukan itu.
Sekarang
sudah pukul 11 malam, operasi masih berjalan. Tangisan nenek sudah mereda, ia
terlihat sangat sayu. Aku dan nenek belum makan apapun sejak tadi siang. Namun,
aku tidak memiliki nafsu untuk makan. Aku memutuskan untuk keluar membelikan grandma
makanan, sementara aku mencari udara segar.
Hmmmhh, enaknya menghirup udara Kanada
yang bersih. Cukup membantu meredakan penat kepalaku.
Brukk,
ah. Tiba-tiba
seorang pemuda yang terlihat setengah sadar dan berbau miras menabrak tubuhku
dengan keras. Sakit. Ia jatuh tersungkur, kehilangan keseimbangan
sepertinya, entahlah.
Laki-laki
yang tadinya melihat ke tanah itu, tiba-tiba mendongakkan kepalanya ke arahku.
Kami bertatapan. Tampan, itulah yang terlintas di benak ku. Aku
termenung sebentar, hingga laki-laki tersebut tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
Apa yang lucu? Apakah wajahku sekusut itu? Mengapa ia menertawakan orang
yang tidak dikenal? Tidak sopan.
Aku
mengulurkan tangan kananku untuk membantunya berdiri. Lalu, aku memapahnya sambil
mencarikan ia kursi untuk duduk. Sepanjang jalan ia mengoceh tidak karuan. Aku
mendudukkannya di kursi halte bus.
“Terimakasih.
Kamu orang baik. Rupamu juga cantik. Namun kamu, tidak secantik Rachel-ku.”
“Tcih,
dasar tidak sopan. Apakah ia baru saja di tolak oleh seorang perempuan? Lalu ia
menggila dan meminum miras hingga semabuk itu?” gumamku.
Aku
berjalan menjauhinya dan kembali ke rumah sakit.
DI RUMAH SAKIT
“Grandma,
aku membawakanmu sup asparagus. Makanlah selagi hangat.”
“Aku
tidak ingin makan,”
Aku
meninggalkan sup asparagusnya tepat di samping tempat duduk nenek. Entah sampai
kapan nenek akan seperti itu. Sejujurnya, aku takut nenek jatuh sakit, aku
takut sendirian.
Tidak
lama kemudian, dokter akhirnya keluar dari ruang operasi. Pukul berapa
sekarang? Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku dan nenek berlari kearah
dokter tersebut.
“Bagaimana
kondisi kedua orangtua saya, dokter?”
“Maaf,
dengan siapa saya berbicara?”
“Saya
anak dari pasien, dok. Ini nenek saya.”
“Baik,
perkenalkan saya Dr. Andrew yang mengoprasi kedua orangtua anda. Proses operasi
sudah selesai, pasien sudah di bawa ke kamar pasien. Pasien sama-sama mengalami
cedera di bagian perut. Kondisi pasien laki-laki saat ini sudah mulai stabil.
Dapat dikatakan operasi berhasil 90%.”
“Bagaimana
keadaan pasien perempuan, dok?”
“Untuk
saat ini pasien perempuan sudah mulai stabil. Ada cedera pada dadanya,
kondisinya lumayan parah. Tulang rusuknya patah dan mengenai liver. Seperti
yang tadi saya katakan, ada cedera pada perut. Sudah kami tangani sebisa kami.
Namun bekas luka pada liver yang belum di operasi sempurna beresiko untuk
kedepannya. Untuk saat ini kami tidak bisa berbuat lebih lagi, karena sangat
beresiko.”
“Apakah
ada jalan keluar lain, dok?” ucap nenek gemetar, menahan tangisnya.
“Sebenarnya,
kami memiliki dokter ahli bedah unggulan di rumah sakit kami. Tingkat
keberhasilan operasinya 98%.”
“Siapa
dokter itu? Bisakah ia mengoprasi ibuku?”
“Saya
tidak yakin.”
“Mengapa?
Apakah ia sudah tidak memiliki izin prakteknya lagi?”
“Bukan
begitu. Hanya saja, sesuatu terjadi. Ia berubah semenjak itu, menjadi orang
yang sangat berbeda. Terakhir kali ia melakukan operasi, sekitar 4 bulan lalu.
Ada pasien cedera, akibat KDRT. Selebihnya, ia menolak semua tawaran untuk
mengoperasi siapapun”
Aku
dapat memastikan nenek sangat cemas. Raut wajahnya menunjukkan ketakukan.
Tangannya gemetar. Aku tak kuasa melihat nenek yang seperti itu. Aku akan
berusaha semampuku untuk menyembuhkan ibu.
“Dokter,
saya ingin membujuk dokter tersebut. Bisakah kau memberikan nama dan alamatnya,
kumohon?”
Dokter
muda itu sepertinya merasa kasihan kepada aku dan nenek. Ia memberikan kepadaku
kartu nama dokter tersebut.
Christian
Delevingne. Nama yang indah.
“Tidak
akan mudah untuk membujuk Christian. Jika kamu tetap ingin melakukan operasi
penyembuhan total. Paling lambat berikan hasil 30 hari lagi. Selebihnya, resiko
menjalani operasi akan menjadi lebih besar.”
“Baik,
dok. Akan saya usahakan. Terimakasih.”
Orangtuaku
telah dipindahkan ke kamar VIP untuk pemulihan. Dokter melarangku untuk masuk
ke ruangan mereka sementara, karena beberapa hal. Aku hanya bisa memandang
mereka dari kaca ruangan mereka. Aku sangat cemas, semalaman aku merangkai kata
untuk menemui dokter yang bernama Christian tersebut.
Aku
sudah mengirimkannya email, namun belum mendapat balasan apapun. Nenek dijemput
oleh salah seorang kerabat kami yang tinggal di Kanada untuk tinggal di
rumahnya sementara waktu. Baguslah, setidaknya nenek bisa beristirahat. Aku
sangat cemas nenek akan jatuh sakit.
KEESOKAN PAGINYA
Ini
pukul 6 pagi, aku berangkat dari rumah sakit menuju Kawasan tempat tinggal Dr.
Christian di kota Quebec. Janji yang kuajukan memang belum disetujui olehnya.
Namun, apa boleh buat? Aku sangat buntu sekarang, hingga menjadi senekat ini.
45
menit berlalu
Aku
sampai di depan rumah Dr. Christian. Perlahan aku melangkah memasuki rumahnya
yang megah nan besar itu. Aku sangat terpukau karena rumah itu berdiri
menjulang tinggi, kokoh, dan indah. Terkesan seperti istana.
Aku
melihat ada seorang wanita yang sedang membersihkan pekarangan di rumah mewah
itu, yang kuasumsikan adalah seorang asisten rumah tangga. Aku memutuskan untuk
mendekatinya dan bertanya keberadaan Dr. Christian. Perempuan itu tersenyum
dengan hangat padaku. Ia bertanya apa aku sudah membuat janji dengan Dr.
Christian. Aku bingung bagaimana cara menjawab pertanyaan darinya. Aku
memutuskan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan apa tujuanku
datang ke tempat ini. Setelah mendengar seisi ceritaku, wanita yang bisa
kuperkirakan kepala 5 itu memintaku untuk menunggu sejenak. Lalu ia masuk ke
dalam rumah megah tersebut.
Huft,
aku sudah tidak bisa berharap banyak sekarang. Bodohnya mengapa aku tidak
menunggu balasan email darinya terlebih dahulu?Bagaimana jika aku diusir
nantinya?
Pikiranku
sangatlah kacau, aku memikirkan begitu
banyak kondisi buruk yang bisa terjadi saat ini. Tapi, tak lama kemudian pintu
rumah itupun terbuka. Wanita tadi mempersilahkanku untuk masuk dan menunggu di
ruangannya. Perasaanku? Entahlah, aku senang dipersilahkan masuk, namun aku
juga merasa sedikit takut. Ruangan ini terasa aneh, creepy.
Nuansa
ruangan ini serba hitam kecoklatan. Kayu jati menghiasi ruangan ini memberi
kesan kokoh, angkuh, dan kuat. Sentuhan benda-benda vintage membuatku
merasa seperti pergi ke masa lalu. Ruangan ini tidak terasa seperti ruangan
seorang dokter bagiku. Lebih terkesan seperti ruangan seorang psikopat kaya
raya, yang hartanya berasal dari penjualan organ manusia. WAIT WHAT-
Krekkkk, pintu kayu jati itu terbuka perlahan
dan menghasilkan denyitan yang tidak kalah creepy. Seseorang berjalan ke
arahku. Pikiranku semakin kemana-mana.
Siapa
dia? Apakah Dr. Christian? Bagaimana jika aku salah alamat? Apa aku benar-benar
nyasar ke rumah seorang psikopat? Apakah mereka menipuku? Apa Dr. Andrew
menipuku? Tidak, tidak, aku tidak berani melihat ke belakang.
Deg
deg deg, aku dapat
mendengar bunyi jantungku yang hampir copot ini. Tiba-tiba, seseorang menepuk
pundak sebelah kananku. Aku memejamkan mataku, sungguh menakutkan.
“Hey,”
suara laki-laki. Apakah itu Dr. Christian?
Aku
membuka mataku perlahan. Mataku membelalak, tak menyangka siapa yang ada di
depanku saat ini. Wajahnya masih kuingat hingga sekarang. Jika kalian masih
ingat laki-laki dengan bau miras yang kutemui beberapa waktu lalu. Iya, tidak
salah lagi, Dr. Christian memiliki wajah yang persis dengan laki-laki yang
kutemui malam itu. Aku penasaran apakah ia masih mengingatku? Tidak, ini
bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan hal tersebut.
“Aku
dengar dari ibuku, ada seorang wanita datang untuk menemuiku tanpa membuat
janji. Ada perlu apa? Siapakah anda?”
I-IBU??!!
Kyaaa, Aku sangat tidak sopan, mengira wanita tadi adalah seorang asisten!! Ada
apa denganku hari ini…
“Selamat
pagi Dr. Christian maaf menganggu pagi anda, saya-”
“Menganggu?
Hmh, jangan lupa tambahkan kata sangat di depannya. SANGAT MENGGANGGU,” ucap
Dr. Christian dengan penuh penekanan pada dua kata terakhir yang ia ucapkan.
Apa
yang baru saja laki-laki kardus ini katakan?! Sangat tidak sopan! Sejujurnya, aku
sudah naik darah. Aku tidak menyangka ia akan mengatakan hal semacam itu. Namun,
aku harus tetap sabar demi kesembuhan ibuku. Ingat itu Louisa!
“Saya
paham betul jika anda merasa sangat terganggu. Tapi, bolehkah-”
“Tidak
boleh.”
Ia
baru saja memotong ucapan ku untuk yang kedua kalinya. Aku harus tetap sabar.
Aku tersenyum kecil ke arahnya, mencoba melanjutkan kalimatku.
“Baik,
begini, dok. Orangtua saya-”
“Halo?” Dr. Christian mengangkat telefon
dari seseorang, lalu pergi begitu saja meninggalkan ruangannya dengan aku yang
masih duduk terpaku tidak percaya dengan kejadian yang barusan aku alami. Berani-beraninya.
Aku
memutuskan untuk keluar dari ruangannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Entahlah, yang kutahu pasti adalah aku ingin menemui orangtuaku sekarang. Aku
membuka pintu rumah tersebut. Belum sempat aku menutup kembali pintu tersebut.
Seseorang menahannya dari dalam. Ternyata, ia adalah ibu dari Dr. Christian.
“Bagaimana?
Apakah Christian menyetujuinya?” ucapnya dengan senyum yang tetap sama hangatnya.
Sekali
lagi, aku tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Seperti sudah mengetahui jawabannya, ibu dari Dr. Christian tersebut
menggenggam tanganku dan tersenyum kecil.
“Siapa
namamu, nak?”
“Louisa,
bu.”
“Kamu
tenang saja, Louisa. Serahkan semua padaku.” Ia menatapku seolah berusaha
meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ia juga mengusap punggung
tanganku dengan lembut.
Setetes
air mata jatuh dari mataku. Sungguh baik sekali hatinya, tidak seperti
anaknya, huh.
“Hiks,
terimakasih, bu.”
“Sama-sama,
Louisa. Saya tahu dan paham perasaan cemas yang dialami mu. Bisakah kamu
menemuiku di café depan Royal Jubilee besok?”
“Tentu
bisa, bu.”
KEESOKAN HARINYA DI CAFÉ
Aku
datang lebih awal daripada yang seharusnya. Yang ada dipikiranku sekarang
adalah kesembuhan untuk ibu. Entah bagaimana nantinya bila aku tidak berhasil
membujuk Dr. Christian.
Aku
termenung selama kurang lebih 30 menit. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, ah,
ibu dari Dr. Christian ternyata. Ia menarik kursi dan duduk di depanku. Ia
menggenggam tanganku.
Dengan
lembut ia menanyakan apa aku sudah sarapan, aku berkata yang sejujurnya saja.
Aku belum makan. Ia memanggil pelayan dari café itu lalu menyuruhku memesan
makanan untukku dan ia memesan makanan untuknya.
Setelah
selesai memesan makanan, ia berkata, “maaf atas kelakukan Christian yang tidak
sopan padamu, Louisa.”
“Iya,
bu. Tidak apa-apa. Saya sebelumnya juga sudah diperingati oleh Dr. Andrew bahwa
ini tidak akan mudah.”
“Dahulu,
Christian merupakan seorang dokter yang gigih menyembuhkan semua pasien yang
datang padanya. Ia pernah berkata padaku, bahkan jika aku bisa, aku ingin
menyembuhkan semua orang sakit di dunia ini. Ia merasa keahlian yang ia
miliki merupakan sebuah anugrah dari Yang Maha Kuasa.”
Makanan
yang kami pesan datang. Kami melanjutkan percakapan sambil makan.
“Lalu
mengapa ia berubah menjadi angkuh seperti itu, bu?”
“Christian
memiliki seorang adik perempuan, bernama Rachel. Christian menyayangi Rachel,
lebih dari apapun di dunia ini. Suatu saat Rachel mengalami kecelakaan tunggal yang
merenggut nyawanya. Itu terjadi saat Rachel sedang dalam perjalanan menemui Christian di rumah sakit. Pada
saat-saat kritisnya, Rachel menelfon Christian untuk yang terakhir kalinya.
Namun, waktunya sangat tidak tepat. Christian sedang dalam ruang operasi dan ia
meninggalkan telefon di ruangannya.”
Mata
Wanita tersebut berkaca-kaca. Pasti sakit yang ia rasakan sama dalamnya dengan
perasaan Dr. Christian.
“Christian
menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi. Semenjak hari itu, ia
berhenti melakukan operasi.”
“Dr.
Andrew pernah berkata padaku. Pasien terakhir yang Dr. Christian rawat
merupakan seorang korban KDRT. Apakah itu benar?”
“Benar.
Di atas semua yang telah terjadi. Christian masih memiliki hati nurani. Ketika
Christian kecil, tak jarang ia melihat saya mendapat perlakuan kasar dari
ayahnya. Ayah Dr. Christian merupakan seorang pemabuk, ia hanya pulang untuk
meminta uang padaku demi membeli miras. Jika tidak diberikan, ia akan
memperlakukan saya dengan kasar.”
Entah
harus berkata apa, ternyata hidup Dr. Christian sangat berat. Ia pasti memiliki
trauma yang sangat dalam pada dirinya. Sepertinya keangkuhan yang ia tunjukkan
pada semua orang merupakan cara untuk menutupi semua keterpurukan dalam
dirinya.
Aku
melihat kearah ibu Dr Christian. Hendak memastikan kondisinya saat ini.
Mata
dan hidungnya merah. Aku menggemgam punggung tangannya, persis seperti yang ia
lakukan padaku kemarin.
Wanita
tesebut berkata, “Saya telah meminta Christian untuk menjemput saya di café
ini.”
“Baik,
saya akan antar ibu sampai mobil.”
“Tidak,
kamu ikut denganku.”
Aku
sangat terkejut. Entah apa bagaimana cara menolaknya. Aku sejujurnya sangat
cemas jika harus bertemu Dr. Christian sekarang, aku belum menyiapkan kata-kata
yang tepat. Tetapi sekali lagi, ibu dari Dr. Christian meyakinkanku. Itu
membuatku sedikit lebih tenang.
Tidak
lama kemudian, Dr. Christian sampai. Ia turun dari mobil untuk membukakan pintu
bagi ibunya. Sementara, ia menatapku dengan sinis.
“Ada
urusan apa kau dengan ibuku? Jangan coba-coba membujukku melaluinya.”
“Tidak
apa, Christian. Aku yang mengajaknya bertemu. Mari masuk, Louisa.”
Aku
menjulurkan lidahku pada Dr. Christian, lalu masuk ke dalam mobil.
Ibu
Dr. Christian mengajakku makan malam bersama di rumah mereka. Meski aku tidak
enak karena Dr. Christian sedari tadi menunjukkan ketidaksukaannya padaku, aku
tetap menyetujuinya. Disamping aku ingin berjuang demi ibuku, aku juga tidak
enak bila menolak tawaran ibu Dr. Christian. Ia sudah begitu baik padaku.
SESAMPAINYA KAMI DI RUMAH DR.
CHRISTIAN
Aku
membantu ibu Dr. Christian menyiapkan makanannya. Aku juga membantunya memasak.
Aku bisa bilang, aku lumayan jago memasak. Karena selama di rumah, aku hanya
memakan masakan yang dibuat nenek. Terkadang jika aku bosan dengan masakan
nenek yang monoton, aku memasak makanan untukku sendiri.
Tidak
lama, Dr. Christian datang. Ia mencicipi semua masakan yang kubuat, dan
berkomentar pedas atas semuanya makanannya. Kurang asin, terlalu pedas,
tidak dipotong dengan benar, bau amis, dan masih banyak komentar lainnya. Rasanya
seperti ikut Master Chef. Bahkan menurutku, perkataannya lebih menusuk daripada
Chef Juna.
Aku
tahu ia hanya mencoba mengejekku, karena menurutku dan ibunya sendiripun,
rasanya pas. Bahkan aku bisa bilang rasanya enak. Hehehehehe.
Setelah
semuanya selesai, kami menyusun makan-makanan yang telah kami buat di meja
makan.
Aku
duduk di sebelah ibu Dr. Christian. Lalu saat aku melihat ke belakang. Dr.
Christian berdiri tepat di belakangku. Memasang muka sebal.
“Itu
tempat dudukku.”
“Oh,
maaf. Aku tidak tahu.” Aku berdiri dan pindah ke kursi lainnya.
“Memangnya
apa yang kamu tahu?” gumamnya padaku.
Sangat
menyebalkan.
Kami
memulai sesi makan malam bersama kami, yang sangat menyebalkan ini. Namun, aku
melihat sesuatu yang aneh. Dr. Christian memakan masakanku dengan sangat lahap.
Ia bahkan nambah berkali-kali.
“Ada
yang nambah, nih. Masakanku enak, bukan?” ucapku meledek Dr. Christian.
“Tidak,
sangat asin. Aku tidak suka. Aku hanya
lapar.”
Aku
dan ibu Dr. Christian tertawa kecil. Sungguh laki-laki ini, gengsinya sangat
tinggi.
“Oh,
iya. Berapa umurmu, Louisa?” tanya ibu Dr. Christian.
“18
tahun, bu.”
“Wah,
kelahiran tahun 2002 ya. Sama dengan Rachel.”
Dr.
Christian menatapku, tapi kali ini tidak ada rasa mencekam ataupun
ketidaksukaan dari matanya. Anehnya, tatapannya terasa hangat.
“Asalmu
darimana?” Dr. Christian untuk pertama kalinya membuka topik pembicaraan
padaku.
“New
York.”
“Ooo,
ada kepentingan apa di Kanada?”
“Beberapa
waktu lalu, orangtuaku pergi ke Kanada untuk bekerja. Namun, mereka mengalamu
kecelakaan disini, itulah sebabnya, aku meminta bantuanmu untuk-”
“Cukup.
Aku tidak ingin mendengarnya lagi.” Dr. Christian bangkit dari kursinya dan
meninggalkan meja makan.
Apa?
Apa aku salah bicara?
Ibu
Dr. Christian tersenyum ke arahku. “Pelan-pelan, ia pasti akan luluh.”
Setelah
makan malam selesai, aku membantu ibu Dr. Christian merapihkan semuanya. Tak
terasa, waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ibu Dr. Christian memintaku untuk
tinggal di rumahnya malam ini.
“Bermalamlah
disini, Loui. Ini sudah larut, bahaya bila kamu pulang sendiri.”
Perkataan
ibu dari Dr. Christian ada benarnya juga. Lagipula, cuaca di Kanada saat ini
sedang ekstrem. Tapi, bagaimana dengan reaksi Dr. Christian bila melihat aku
menginap di rumahnya? Aku enggan memikirkannya, aku terlalu lelah untuk
memikirkan itu.
Akupun,
akhirnya memutuskan untuk bermalam. Ibu Dr. Christian membiarkanku tinggal di
kamar tamu di rumahnya dan memberikanku sepasang baju tidur anak perempuan.
Bajunya sangat cantik. Berwarna merah muda dan sangat pas ketika digunakan di
badanku. Setelah membersihkan badanku, akupun langsung terlelap.
POV CHRISTIAN
Perasaan
apa yang kurasakan saat ini? Aku enggan menolongnya, namun hatiku berkata
sebaliknya. Setiap melihat wanita yang jika tidak salah bernama Louisa itu… aku
teringat pada Rachel, adikku. Ukuran tubuh, warna rambut, warna kulit, tinggi,
gaya berbicara, semuanya membuatku teringat pada Rachel.
Apa
seharusnya aku menolong dia? Tapi aku tidak sanggup masuk ke ruang operasi
lagi.
Apa
yang harus kulakukan?
POV LOUISA, KEESOKAN PAGINYA
Astaga,
jam 11? Aku harus pergi ke rumah sakit sekarang. Aku ada janji dengan Dr. Andrew
untuk berbincang mengenai perkembangan kondisi kedua orangtuaku. Namun baru
saja aku menginjakkan kakiku ke lantai. Seseorang membuka pintu kamar. Ah,
Dr. Christian ternyata. Tanpa mengetuk pintu dahulu? Sepertinya, aku mulai
terbiasa dengan sikapnya yang tidak sopan itu.
“Louisa,
aku ingin bicara dengamu.” Dr. Christian kali ini berbicara serius denganku, untuk
pertama kalinya.
“Iya,
ada apa, Pak dokter?”
“Christian,
itu namaku. Bukan dokter. Dan aku masih 23 tahun. Aku bukan bapak-bapak.”
Ternyata
masih tetap menyebalkan -_-
“Baik,
Christian. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Dia
berjalan mendekatiku, lalu berhenti tepat di depan wajahku. Jarak kami sangat
dekat. Benar-benar dekat. Aku dapat mencium aroma bajunya. Aku sangat gugup,
apa yang sedang ia lakukan?
“Loui.”
“Ya?”
“Aku
akan membantu mengoprasi ibumu.”
BENARKAH
INI? DIA MENYETUJUI UNTUK MENGOPRASI IBUKU. Mataku berbinar-binar, aku sangat sangat sangat sangat
lega. Tanpa sadar aku memeluk Christian dengan sangat erat. Entah mengapa hal
itu terjadi. Mungkin, karena aku sangat senang.
“Loui?
Aku sesak.” baru kusadari, aku memeluknya terlalu kencang.
“Maaf…
Aku sangat senang. Terimakasih, Christian.”
“Tapi,
berjanjilah padaku sesuatu.”
“Apa?”
“Tentang
malam itu…”
Aku
menunggu Christian menyelesaikan kalimatnya.
“Ah,
kapan-kapan sajalah.”
Apa
yang sebenarnya mau ia katakan? Aku sangat penasaran.
“Jangan
membuat ku penasaran, cepat katakan,” ucapku memaksa.
“Uh,
tentang malam itu, di halte bus,” Christian menarik tanganku dan
menggenggamnya.
“Berjanjilah,
bahwa kau tidak akan memberitahu ibuku mengenai hari itu.”
Mataku
membelalak, tak menyangka, ternyata ini toh yang dari tadi ia coba ucapkan. HAHAHAHAHA.
Aku tertawa sangat puas. Seorang Christian yang dingin dan angkuh ini
ternyata sangat patuh pada ibunya.
Lalu,
aku melihat ke arahnya. Wajahnya sudah sangat merah. Membuatku tertawa semakin
keras.
“Sebentar,
aku lupa sesuatu,” ucapku pada Christian.
“Tapi,
kau belum berjanji. Berjanjilah dahulu. Memangnya kamu ada urusan apa, Loui?”
“Aku
harus membantu ibumu memasak di dapur sekaligus memberi tahu padanya sebuah
rahasia besar,” akupun berjalan menjauhi pintu kamarnya.
Namun,
dari arah belakangku, aku bisa mendengar suara langkah kaki seseorang, yang
sedang berlari ke arahku. Saat aku melihat ke belakang ternyata ada Christian
yang sedang berusaha menangkapku. Apakah dia setakut itu padahal aku hanya
bercanda.
Aku
pun berlari menghindarinya. Aku meminta tolong pada siapapun yang ada di rumah
besar itu. Aku berlari sambil sesekali menjerit. Christian tidak mau berhenti,
huh, padahal aku sudah mengatakan bahwa aku hanya bercanda.
Akhirnya,
pelarianku, berakhir di dapur tempat ibunya Christian berada. Betapa cerdasnya
aku. Christian pun tidak berani berkutik. Hanya sesekali menatapku dengan
tajam.
“Hey,
ada apa ini. Mengapa kalian berdua berlarian?”
“Christian-”
Christian memotong ucapanku.
“Louisa
dan aku lomba lari, bu. Yang kalah, harus membantu ibu memasak di dapur hari
ini.”
“Yaampun…
Kalian berdua sudah seperti anak kecil. Tapi, kalian sampai disini di waktu
yang sama. Bagaimana jika kalian berdua saja yang membantu ibu? Lebih banyak
yang membantu, maka lebih baik.”
Aku
tertawa kecil melihat wajah Christian yang menggambarkan kekecewaan.
Sepertinya, membantu ibu di dapur tidak termasuk dalam list to do nya
hari ini. Huh, siapa suruh memotong ucapanku.
Kamipun
akhirnya memasak bersama. Kami membuat berbagai hidangan. Ada tumis kacang
panjang, shrimp roll, ayam pedas manis, dan tidak lupa dengan hidangan penutup,
apple pie.
Rumah
besar ini hanya beranggotakan 2 orang saja, 3 bila ditambah denganku. Asisten
rumah tangga yang ada di sini, semuanya memasak hidangan hanya untuk diri
mereka sendiri. Ibunya Christian sangat suka memasak, jadi ialah yang selalu
masak untuk dirinya dan Christian.
Ibunya
Christian membumbui masakan kami, Christian memotong bawang-bawangan, dan
lainnya, sedangkan aku memotong kacang panjang yang akan ditumis. Namun, aku
sedikit kesulitan melihat, dikarenakan rambutku yang tergerai dan sangat
mengganggu ini. Aku lupa mengikat rambutku. Namun tiba-tiba, aku bisa merasakan
kehadiran Chrstian di belakangku. Ia merapikan rambutku, dan mengikatnya.
Seperti sudah terlatih. Ia juga mengendus aroma rambutku. “Wangi,” ucapnya
berbisik. Jantungku berdebar sangat kencang. Astaga perasaan apa ini? Aku
mencoba untuk tidak menghiraukannya dan melanjutkan pekerjaannku.
Beberapa
jam kemudian, kegiatan masak-memasak kami pun selesai. Kami menyajikan hasil
masakan kami di atas meja makan. Kami bercengkrama, sesekali kami memuji hasil
masakan sendiri.
“Oh,
iya. Kapan kamu mau melaksakan operasi untuk ibumu? Aku ingin menyesuaikannya
dengan jadwal milikku.” Ucap Christian menanyakan kepastian.
Ibunya
Christian tersenyum kea rah kami berdua, “Kan, sudah ibu bilang. Kamu hanya
perlu merayunya sedikit.”
“Tapi,
bu. Ia memberikanku syarat.” Ucapku meledeknya lagi.
“Apa
syaratnya?” Ucap ibu Christian dengan nada penasaran.
Aku
dapat melihat wajah panik Christian sekarang. Sungguh lucu.
Ouch,
aku dapat merasakan sesuatu yang besar menimpah kakiku sekarang. Ternyata, itu
adalah kaki Christian. Ia menginjak kakiku dan memasang wajah kesenangan. Lihat
saja, akan ku balas nanti.
Kami
lanjut berbincang, dan tertawa bersama. Aku juga sudah berdikusi mengenai
tanggal operasi dengan Christian dan menghubungi pihak rumah sakit serta
nenekku. Operasinya akan dilakukan lusa. Aku sangat senang, sekaligus gugup.
Aku berdoa agar operasi ibuku berjalan lancar.
MALAM SEBELUM OPERASI IBUKU
DILAKSANAKAN
Christian
tiba-tiba masuk ke dalam kamar, sontak aku tersadar. Bahwa sedari tadi aku
temenung memikirkan operasi ibuku besok.
“Kamu
pasti khawatir.” Ucap Christian yang sekarang sedang duduk di sampingku.
Aku
menganggukan kepalaku. Tiba-tiba, ia merangkulku dan mengusap bahuku.
“Tenang,
she will be alright.” Ucapannya terasa sangat tulus.
Entah
bagaimana, itu membuatku tenang. Lalu, Christian berjalan keluar dan menutup
lampu kamarku.
“Sleeptight.”
Untuk
kesekian kalinya, ia membuat ku berdebar. Sungguh perasaan ini, apa
jangan-jangan aku menyukai lelaki tengil itu? Ah, pikiranku mengacau, aku harus
tidur sekarang.
TIBALAH HARINYA
Hari
ini merupakan hari yang sangat-sangat kami nantikan. Akhirnya ibuku bisa
memiliki harapan untuk sembuh total. Aku dan nenek membantu ibu menyiapkan
segalanya. Kondisi ayah juga sudah sangat membaik, namun belum boleh banyak
bergerak.
Sebelum
operasi dimulai, ayahku tidak ada henti-hentinya menggenggam tangan ibuku. Ia
berkali-kali menenangkan ibuku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik
saja karena ada kami semua yang menjaga ibu dan dokter yang mengoperasinya
adalah dokter terbaik di rumah sakit ini. Kami semua hanya tertawa melihat
tingkah ayah yang kelihatannya lebih khawatir dibandingkan ibu yang akan
menjalani operasi.
Akhirnya
kegiatan operasi akan segera dimulai. Dr. Christian mengenalkan diri dan
menjelaskan prosedur operasi terlebih dahulu pada keluargaku. Ia meminta kami
semua agar tenang dan berdoa yang terbaik selama proses operasi berjalan.
Lalu,
ibupun di bawa masuk ke dalam ruang operasi dan operasipun di mulai. Operasi dilaksanakan
sekitar 5 jam. Lalu, Christian keluar dari ruangan.
“Selamat,
kepada keluarga Hermington. Operasi bu Hermington berjalan lancar.”
Sontak,
aku merasa sangat senang, aku, ayah, dan nenek, memeluknya dengan sangat erat
dan disertai dengan lompatan-lompatan kecil saking senangnya.
Akhirnya,
ibupun dapat beristirahat di ruangannya. Ibu harus dirawat inap selama kurang
lebih 10 hari baru, setelahnya, ia boleh kembali ke New York. Itu yang
dikatakan Dr. Christian.
Selama
10 hari itu, kami sesekali pergi bersama, menonton film, makan malam di luar
dan lainnya. Aku juga mengunjungi ibunya Christian untuk berterima kasih dan
membantunya memasak. Christian juga mengajak ayah dan nenekku berkeliling Kanada
sesekali. 10 hari itu terasa singkat. Ternyata Christian memiliki hati yang
lembut.
Karena
ibu sudah dalam kondisi yang stabil, kami bersiap-siap untuk kembali ke New
York. Aku telah memesan tiket pesawat untuk kami berempat. Christian dan ibunya
berjanji akan mengatrkan kami ke bandara besok. Tapi, entah mengapa, aku merasa
sedih. Di sisi lain aku senang ibu dan ayahku sudah sehat kembali namun, di
sisi lain aku tidak siap berpisah dengan Kanada.
KEESOKAN HARINYA DI BANDARA
Aku
dan keluargaku sudah di bandara. Sesuai janji, Christian dan ibunyalah yang
mengantar kami. Sebentar lagi, kami harus bersiap-siap memasuki pesawat kami.
Aku sangat gugup. Aku mengucapkan salam perpisahan pada Christian dan ibunya.
Ibu Christian meneteskan air matanya. Uh, ini semakin memberatkanku.
Aku
berjanji pada Christian dan ibunya, akan menghubungi mereka setelah aku sampai
di New York, dan akan mengunjungi mereka liburan nanti.
“Panggilan
kepada keluarga Hermington, kehadirannya ditunggu sekarang juga. Karena pesawat
akan lepas landas sebentar lagi.”
Oh
tidak, itu panggilan untuk kami. Aku dan keluargaku bergegas menuju pesawat
kami. Sesaat sebelum aku masuk ke dalam pesawat. Christian menarik tanganku. Ia
memelukku dengan erat dan meletakkan tangannya di pinggangku. Ia membisikkan
sesuatu di telingaku, “aku menyukaimu, Louisa.”
Mataku
membesar, jantungku berdegup kencang. Aku melepaskan pelukannya dariku. “Aku
juga menyukaimu, Christian.” Lalu kami berpelukan kembali untuk beberapa saat.
“Aku
harus pergi.” Aku melepaskan pelukan kami untuk kedua kalinya, dan berjalan
menuju pesawatku.
“Aku
akan mengunjungimu pekan depan, Loui. Wait for me.” Ucap Christian setengah
berteriak. Memastikan aku mendengar suaranya.
“I
will.” Ucapku lirih.
Semenjak
hari itu, kami berpacaran. Memang tidak mudah untuk menjalankan hubungan jarak
jauh. Mengingat aku yang sudah kuliah kembali, dan Christian yang kembali
menjalankan tugasnya sebagai dokter bedah aktif. Namun, disamping semua
kesibukan kami. Kami selalu memprioritaskan dan percaya satu sama lain.
Oh,
iya. Aku juga menjadi semakin dekat dengan nenek semenjak hari itu. Ayah dan
ibuku juga sudah bisa beraktifitas seperti biasa dan bisa pergi ke kampus untuk
mengajar lagi.
TAMAT.